HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian
berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat
memben-tengi dirinya.”[1]
Anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
segera menikah mengandung berbagai manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh
para ulama, di antaranya:
[1]. Melaksanakan Perintah Allah Ta’ala.
[2]. Melaksanakan Dan
Menghidupkan Sunnah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
[3]. Dapat
Menundukkan Pandangan.
[4]. Menjaga
Kehormatan Laki-Laki Dan Perempuan.
[5]. Terpelihara
Kemaluan Dari Beragam Maksiat.
Dengan menikah, seseorang akan terpelihara dari perbuatan
jelek dan hina, seperti zina, kumpul kebo, dan lainnya. Dengan terpelihara diri
dari berbagai macam perbuatan keji, maka hal ini adalah salah satu sebab
dijaminnya ia untuk masuk ke dalam Surga.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara
dua bibir (lisan)nya dan di antara dua paha (ke-maluan)nya, aku akan jamin ia
masuk ke dalam Surga.” [2]
[6]. Ia Juga Akan Termasuk Di Antara Orang-Orang Yang
Ditolong Oleh Allah.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang ditolong
oleh Allah, yaitu orang yang menikah untuk memelihara dirinya dan pandangannya,
orang yang berjihad di jalan Allah, dan seorang budak yang ingin melunasi
hutangnya (menebus dirinya) agar merdeka (tidak menjadi budak lagi). Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat
pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah, (2) budak yang menebus dirinya
agar merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara
kehor-matannya.” [3]
[7]. Dengan Menikah, Seseorang Akan Menuai Ganjaran Yang
Banyak.
Bahkan, Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa seseorang yang bersetubuh dengan
isterinya akan mendapatkan ganjaran. Beliau bersabda,
“Artinya : … dan pada persetubuhan salah seorang dari kalian
adalah shadaqah…” [4]
[8]. Mendatangkan Ketenangan Dalam Hidupnya
Yaitu dengan
terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman Allah
‘Azza wa Jalla:
“Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah
Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]
Seseorang yang berlimpah harta belum tentu merasa tenang dan
bahagia dalam kehidupannya, terlebih jika ia belum menikah atau justru
melakukan pergaulan di luar pernikahan yang sah. Kehidupannya akan dihantui
oleh kegelisahan. Dia juga tidak akan mengalami mawaddah dan cinta yang
sebenarnya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam:
“Artinya : Tidak pernah terlihat dua orang yang saling
mencintai seperti (yang terlihat dalam) pernikahan.” [5]
Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya
hanyalah nafsu syahwat belaka, bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa
cinta yang sebenarnya, dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia
berada dalam perbuatan dosa dan laknat Allah. Terlebih lagi jika mereka hidup
berduaan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Mereka akan terjerumus dalam lembah
perzinaan yang menghinakan mereka di dunia dan akhirat.
Berduaan antara dua insan yang berlainan jenis merupakan
perbuatan yang terlarang dan hukumnya haram dalam Islam, kecuali antara suami
dengan isteri atau dengan mahramnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
“Artinya : angan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian
dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya.” [6]
Mahram bagi laki-laki di antaranya adalah bapaknya,
pamannya, kakaknya, dan seterusnya. Berduaan dengan didampingi mahramnya pun
harus ditilik dari kepen-tingan yang ada. Jika tujuannya adalah untuk
ber-pacaran, maka hukumnya tetap terlarang dan haram karena pacaran hanya akan
mendatangkan kegelisahan dan menjerumuskan dirinya pada perbuatan-perbuatan
terlaknat. Dalam agama Islam yang sudah sempurna ini, tidak ada istilah pacaran
meski dengan dalih untuk dapat saling mengenal dan memahami di antara kedua
calon suami isteri.
Sedangkan berduaan dengan didampingi mahramnya dengan tujuan
meminang (khitbah), untuk kemudian dia menikah, maka hal ini diperbolehkan
dalam syari’at Islam, dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan pula
oleh syari’at.
[9]. Memiliki Keturunan Yang Shalih
Setiap orang yang
menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah –dengan izin Allah— ia akan
mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga
karena anak yang shalih akan senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, serta
dapat menjadikan amal bani Adam terus mengalir meskipun jasadnya sudah
berkalang tanah di dalam kubur.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah
amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang mendo’akannya.” [7]
[10]. Menikah Dapat Menjadi Sebab Semakin Banyaknya Jumlah
Ummat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Termasuk anjuran
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menikahi wanita-wanita yang
subur, supaya ia memiliki keturunan yang banyak.
Seorang yang beriman tidak akan merasa takut dengan
sempitnya rizki dari Allah sehingga ia tidak membatasi jumlah kelahiran. Di
dalam Islam, pembatasan jumlah kelahiran atau dengan istilah lain yang menarik
(seperti “Keluarga Berencana”) hukumnya haram dalam Islam. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam justru pernah mendo’akan seorang Shahabat
beliau, yaitu Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, yang telah membantu Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dengan do’a:
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah
baginya dari apa-apa yang Engkau anugerahkan padanya.” [8]
Dengan kehendak Allah, dia menjadi orang yang paling banyak
anaknya dan paling banyak hartanya pada waktu itu di Madinah. Kata Anas,
“Anakku, Umainah, menceritakan kepadaku bahwa anak-anakku yang sudah meninggal
dunia ada 120 orang pada waktu Hajjaj bin Yusuf memasuki kota Bashrah.” [9]
Semestinya seorang muslim tidak merasa khawatir dan takut
dengan banyaknya anak, justru dia merasa bersyukur karena telah mengikuti
Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah ‘Azza wa
Jalla akan memudahkan baginya dalam mendidik anak-anaknya, sekiranya ia
bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi Allah ‘Azza wa
Jalla tidak ada yang mustahil.
Di antara manfaat dengan banyaknya anak dan keturunan
adalah:
1. Mendapatkan
karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya dari harta.
2. Menjadi buah hati
yang menyejukkan pandangan.
3. Sarana untuk
mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah.
4. Di dunia mereka
akan saling menolong dalam ke-bajikan.
5. Mereka akan
membantu meringankan beban orang tuanya.
6. Do’a mereka akan
menjadi amal yang bermanfaat ketika orang tuanya sudah tidak bisa lagi beramal (telah
meninggal dunia).
7. Jika ditakdirkan
anaknya meninggal ketika masih kecil/belum baligh -insya Allah- ia akan menjadi
syafa’at (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi orang tuanya di
akhirat kelak.
8. Anak akan menjadi
hijab (pembatas) dirinya dengan api Neraka, manakala orang tuanya mampu
men-jadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih atau shalihah.
9. Dengan banyaknya
anak, akan menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika jihad fi
sabilillah dikumandangkan karena jumlahnya yang sangat banyak.
10. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangga akan jumlah ummatnya yang banyak.
Anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini tentu
tidak bertentangan dengan manfaat dan hikmah yang dapat dipetik di dalamnya.
Meskipun kaum kafir tiada henti-hentinya menakut-nakuti kaum muslimin sepuaya
mereka tidak memiliki banyak anak dengan alasan rizki, waktu, dan tenaga yang
terbatas untuk mengurus dan memperhatikan mereka. Padahal, bisa jadi dengan
adanya anak-anak yang menyambutnya ketika pulang dari bekerja, justru akan
membuat rasa letih dan lelahnya hilang seketika. Apalagi jika ia dapat bermain
dan bersenda gurau dengan anak-anaknya. Masih banyak lagi keutamaan memiliki
banyak anak, dan hal ini tidak bisa dinilai dengan harta.
Bagi seorang muslim yang beriman, ia harus yakin dan
mengimani bahwa Allah-lah yang memberikan rizki dan mengatur seluruh rizki bagi
hamba-Nya. Tidak ada yang luput dari pemberian rizki Allah ‘Azza wa Jalla,
meski ia hanya seekor ikan yang hidup di lautan yang sangat dalam atau burung
yang terbang menjulang ke langit. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya : Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di
bumi melainkan semuanya dijamin Allah rizkinya. Dia mengetahui tempat
kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh).” [Huud : 6]
Pada hakikatnya, perusahaan tempat bekerja hanyalah sebagai
sarana datangnya rizki, bukan yang memberikan rizki. Sehingga, setiap hamba
Allah ‘Azza wa Jalla diperintahkan untuk berusaha dan bekerja, sebagai sebab
datangnya rizki itu dengan tetap tidak berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa
Jalla dalam usahanya mencari rizki. Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
Artinya : “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah,
niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” [Ath-Thalaq : 4]
Jadi, pada dasarnya tidak ada alasan apa pun yang
membenarkan seseorang membatasi dalam memiliki jumlah anak, misalnya dengan
menggunakan alat kontrasepsi, yang justru akan membahayakan dirinya dan
suaminya, secara medis maupun psikologis
APABILA BELUM
DIKARUNIAI ANAK
Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Mahaadil, Maha
Mengetahui, dan Mahabijaksana meng-anugerahkan anak kepada pasangan suami
isteri, dan ada pula yang tidak diberikan anak. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya : Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia
menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang
Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau
Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa
yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” [Asy-Syuuraa : 49-50]
Apabila sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama
namun ditakdirkan oleh Allah belum memiliki anak, maka janganlah ia berputus
asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia terus berdo’a sebagaimana
Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dan Zakariya ‘alaihis salaam telah berdo’a kepada
Allah sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengabulkan do’a mereka.
Do’a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih
terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu:
“Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang
termasuk orang-orang yang shalih.” [Ash-Shaaffaat : 100]
“…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi
orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]
“…Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang
diri (tanpa keturunan) dan Engkau-lah ahli waris yang terbaik.” [Al-Anbiyaa' :
89]
“…Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu,
sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” [Ali ‘Imran : 38]
Suami isteri yang belum dikaruniai anak, hendaknya ikhtiar
dengan berobat secara medis yang dibenarkan menurut syari’at, juga menkonsumsi
obat-obat, makanan dan minuman yang menyuburkan. Juga dengan meruqyah diri
sendiri dengan ruqyah yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan
terus menerus istighfar (memohon ampun) kepada Allah atas segala dosa. Serta
senantiasa berdo’a kepada Allah di tempat dan waktu yang dikabulkan. Seperti
ketika thawaf di Ka’bah, ketika berada di Shafa dan Marwah, pada waktu sa’i,
ketik awuquf di Arafah, berdo’a di sepertiga malam yang akhir, ketika sedang
berpuasa, ketika safar, dan lainnya.[10]
Apabila sudah berdo’a namun belum terkabul juga, maka
ingatlah bahwa semua itu ada hikmahnya. Do’a seorang muslim tidaklah sia-sia
dan Insya Allah akan menjadi simpanannya di akhirat kelak.
Janganlah sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada
Allah! Hendaknya ia senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah
takdirkan baginya, maka itulah yang terbaik. Allah Maha Mengetahui, Maha
Penyayang kepada hamba-hambaNya, Mahabijaksana dan Mahaadil.
Bagi yang belum dikaruniai anak, gunakanlah kesempatan dan
waktu untuk berbuat banyak kebaikan yang sesuai dengan syari’at, setiap hari
membaca Al-Qur-an dan menghafalnya, gunakan waktu untuk membaca buku-buku
tafsir dan buku-buku lain yang bermanfaat, berusaha membantu keluarga, kerabat
terdekat, tetangga-tetangga yang sedang susah dan miskin, mengasuh anak yatim,
dan sebagainya.
Mudah-mudahan dengan perbuatan-perbuatan baik yang
dikerjakan dengan ikhlas mendapat ganjaran dari Allah di dunia dan di akhirat,
serta dikaruniai anak-anak yang shalih.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga
Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor -
Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar