Header

Header
Dunia ini gelap. Carilah penerang. yaitu Ilmu Pengetahuan
Tampilkan postingan dengan label Humor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humor. Tampilkan semua postingan

Jumat

Minuman Bingung




Minum apa…?


Suatu hari, Udin berkunjung ke rumah Didin, temannya sewaktu sama-sama mondok. Sejak pulang ke rumah tujuh belas tahun yang lalu, keduanya belum pernah sekalipun bertemu. Maklum di samping jarak kota yang berjauhan, ditambah banyaknya kesibukan membuat keduanya tidak berjumpa hingga belasan tahun lamanya.

Seperti sebuah kebetulan, Udin ada urusan yang harus diselesaikan di kota tempat tinggal Didin. Nah, kesempatan ini tak boleh aku sia-siakan, tekad Udin dalam hati.


Setelah semua urusan beres, mulailah si Udin mencari alamat Didin, sahabat yang dirindukannya. Awal mulanya agak sulit karena Didin ternyata sudah pindah alamat, namun dengan tekadnya yang besar, akhirnya bertemulah keduanya.

”Ahlan wa sahlan!!!” teriak Didin begitu melihat Udin di depan pintu. Keduanya berpelukan lama kemudian terlibat dalam obrolan hangat.

Mbah Sueb dan aji-aji sampar angin

Mbah Sungeb dan aji-aji sampar angin

Di daerah Kandangan Rembang, dulu ada seorang Kiai desa sederhana. Sudah tua tapi aktif sekali. Dimana saja ada peristiwa penting beliau selalu tampak. Misalnya di konferensi NU Wilayah, di muktamar NU. Padahal melihat penampilannya tidak meyakinkan. Sehingga terbetik kepercayaan bahwa Mbah Sungeb mempunyai aji-aji sampar angin.

Suatu ketika, Mbah Sungeb dan beberapa Kiai naik kendaraan umum pulang ke Rembang. Karena kendaraan mogok, mereka terpaksa berjalan kaki. Padahal Rembang masih jauh sekali.

SAPI UNTUK 8 ORANG

Kiai Bisri dan Strategi Kiai Wahab


Meski sama-sama pemegang fikih yang ketat, Kiai Wahab dan Kiai Bisri berbeda strategi penerapannya. Kiai Wahab cenderung bergaris lunak, sementara Kiai Bisri bergaris keras.

Suatu hari menjelang Idul Adha seseorang datang menghadap Kiai Bisri. Dia bermaksud melaksanakan kurban dengan menyembelih seekor sapi. Namun sebelumnya dia berkonsultasi dulu dengan Kiai Bisri, apakah boleh berkurban seekor sapi untuk 8 orang? Ketentuan fiqih, 1 sapi untuk 7 orang. Padahal jumlah keluarganya ada delapan. dia ingin di akhirat nanti satu keluarga itu bisa satu kendaraan agar tidak terpencar.

Mendengar pertanyaan tersebut Kiai Bisri menjawab “tidak bisa”. Kurban Sapi, Kerbau atau Unta hanya berlaku untuk 7 orang. Kemudian orang itu menawar pada Kiai Bisri, “Pak Kiai, apakah tidak ada keringanan. Anak saya yang terakhir baru 3 bulan”. Dengan menjelaskan dasar hukumnya, Kiai Bisri tetap menjawab, tidak bisa.

Menteri Tahajjud Siang Malam

Menteri Tahajjud Siang Malam


Dalam suatu acara halaqah di sebuah pesantren di Jawa Timur yang dihadiri para Kiai, seorang menteri yang sangat terkenal datang memenuhi undangan panitia. Konon kabarnya, kedatangan menteri tersebut di samping akan memberikan sambutan juga diharapkan bisa memberikan sumbangan ala kadarnya bagi pembangunan di pesantren.

Selang beberapa menit acara dibuka oleh pemandu acara, tibalah saatnya Bapak Menteri mendapat giliran memberikan sambutan. Seperti biasa dalam acara-acara formal setelah memberi salam dan kata penghormatan secukupnya, Pak Menteri itu sampai pada isi sambutannya.

Suara Gorengan

Suara Gorengan


Angin sepoi-sepoi menghembus di daerah pegunungan yang cukup dingin dan menyejukan. Hamparan pegunungan indah, hijau dan luas itu melengkapi indahnya panorama desa yang terkenal dengan petani kentangnya.

Namun daerah ini tampaknya kurang mendapat pendidikan agama. Berdasarkan informasi itulah, sekelompok pengurus pesantren dari luar kota dengan menggunakan mobil mendatangi desa tersebut. Mereka langsung menuju rumah tokoh kampung setempat.


“Assalamu’alaikum”, salam mereka. “Wa’alaikumsalam”, jawab Pak Hari. Setelah mereka dipersilahkan duduk, seorang dari mereka memulai pembicaraan. “Pak Hari, tujuan kami datang ke sini untuk menugaskan para santri kami yang ingin melaksanakan study tour ke desa ini”. “Oh iya saya selaku tokoh di desa ini merasa terhormat dan bahagia dengan kabar ini” ujarnya.

Politisi yang tak Pintar Ngaji

Politisi yang tak Pintar Ngaji


Kasus ini terjadi di pesantren salaf yang cukup terkenal. Sebut saja, Pesantren Minhajul ‘Abidin. Sore itu sedikit terjadi ketegangan namun berbau komedi dalam pengajian kitab kuning, yang dibacakan oleh Gus Habiburrahman. Panggilan akrabnya Gus Bur.

Seperti biasa, setiap akan memulai membaca kitab kuning, kiai atau ustadz terlebih dahulu tawassulan. Berkirim do’a fatihah kepada Mushonnif, pengarang kitab dan para guru-guru terdahulu. Sampai di situ semua berjalan lancar dan khidmad.


Gus Bur tampil seperti kiai yang alim baca kitab. Padahal, ia tak pernah nyantri ke pesantren lain. Dia selama ini lebih banyak sekolah umum di luar pondok. Gus Bur pun dikenal sebagai politisi gaek, papan atas. Namun sebenarnya, ia tidak fasih membaca kitab kuning.

Nikahi Gadis se-Kampung tak Boleh…

Nikahi Gadis se-Kampung tak Boleh…


Bagi santri Pesantren Nurul Hasanah, menjadi rutinitas setiap akhir tahun, pesantren mengadakan acara bertajuk “Akhiru as-Sanah”. Kali ini yang menjadi istimewa adalah pelepasan kelas III Aliyah setempat.

Pagi menjelang siang, lokasi acara sudah mulai ramai. Tak lama kemudian, kursi-kursi sudah penuh, bahkan ada tamu undangan yang tidak kebagian kursi. Acara langsung dimulai. Sampailah pada acara tausiyah atau petuah-petuah dari Pengasuh Pesantren setempat, KH. Abdul Adim Bafaqih Almandury. Seperti biasa, Kiai Adim dalam ceramahnya selalu tampil renyah dengan dalil-dalil agama untuk bekal-bekal santri.


Dengan menarik nafas panjang, Kiai Adim tampil wibawa berpesan pada santrinya: “Entar kalian semuanya, kalo udeh pada pulang ke kampungnya masing-masing dan mungkin sebagian ada yang akan menikah. Pesan saya, khususnya kepada yang akan menikah, agar jangan menikah dengan gadis sekampung”.

Karuan suasana menjadi gaduh, antar santri saling bisik-bisik dan sebagian lagi rupanya mempersoalkan statement pengasuh pesantren. “Mengapa Ustadz melarang menikahi gadis sekampung, padahal kan di dalam kitab-kitab fiqih menikah dengan gadis sekampung diperbolehkan?,” tanya Mardi pada teman santri sebelahnya.

“Eh gimana nih ya, kok kiai kita bilang gak boleh nikah ama gadis sekampung, padahal ane uda tunangan ama anak kampung sendiri,” gerundel Toni pada temannya.

Usai acara ramai-ramai para santri mendatangi Kiai Adim untuk tabayyun. “Kiai apa benar yang dikatakan kiai tadi?”, tanya seorang santri mewakili yang lain. Kiai Adim tenang saja menerima cecaran pertanyaan santrinya, dengan tenang beliau menjawabnya: “Gini ya, adik-adik… masa sih kalian mau mengawini gadis sekampung? Gadis satu kampung kan banyak buanget, apa kalian sanggup memberi nafkah kepada mereka semua? Apalagi Islam kan melarang menikahi wanita lebih dari 4 orang,” ujar Kiai Adim. “Oh begitu maksud Kiai… kirain ndak boleh ama tetangga sendiri,” ujar santri hampir serempak dan gerr, mereka ketawa semua.

(Tamzirien)

Sumber : Majalah Risalah NU no.5