Suatu hari, Udin berkunjung ke rumah Didin, temannya sewaktu sama-sama mondok. Sejak pulang ke rumah tujuh belas tahun yang lalu, keduanya belum pernah sekalipun bertemu. Maklum di samping jarak kota yang berjauhan, ditambah banyaknya kesibukan membuat keduanya tidak berjumpa hingga belasan tahun lamanya.
Seperti sebuah kebetulan, Udin ada urusan yang harus diselesaikan di kota tempat tinggal Didin. Nah, kesempatan ini tak boleh aku sia-siakan, tekad Udin dalam hati.
Setelah semua urusan beres, mulailah si Udin mencari alamat Didin, sahabat yang dirindukannya. Awal mulanya agak sulit karena Didin ternyata sudah pindah alamat, namun dengan tekadnya yang besar, akhirnya bertemulah keduanya.
”Ahlan wa sahlan!!!” teriak Didin begitu melihat Udin di depan pintu. Keduanya berpelukan lama kemudian terlibat dalam obrolan hangat.
”Sebentar” ujar Didin, ”Aku belum Sholat nih! Biar ngobrolnya enak, kau di sini dulu, aku Sholat dulu. Ok?
”Ok. Aku tadi sudah Sholat di Masjid”
“Tomo!” Didin memanggil pembantunya.
“Ya, mas!” Tomo datang menghadap.
“Ini temanku, Ustadz Udin namanya. Aku mau Sholat dulu, tolong layani dia sebaik-baiknya”
“Ya mas!” Didin berlalu…
“Ustadz minum kopi, teh atau susu?”
”Kopi saja”
”Kopinya kopi arab, kopi tubruk, kopi jahe atau…”
”Apa ajalah”
”Pake gula, krim, madu?”
”Gula”
”Pake susu?”
”Boleh”
”Susu sapi, susu onta, susu kambing?”
”Susu sapi”
”Sapi perah, sapi Australi…”
”Sudah-sudah, saya minum air putih saja”
“Merk aqua, ades…”
“Apa aja deh. Terserah kamu!”
”Rasa anggur, strawberry…”
”Gini aja, aku gak minum. Capek pengen istirahat!” tukas Udin kesal sambil meletakkan kepalanya pada sandaran kursi.
Sumber : Majalah Cahaya Nabawiy no.77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar