Bandul
Pendulum Gus Dur
Oleh Arif Afandi
ARUS keinginan masyarakat untuk mempercepat pemberian gelar pahlawan
nasional terhadap almarhum KH Abdurrahman Wahid terus menggelinding. Bahkan, desakan itu muncul dari tokoh yang
selama ini dianggap sering berseberangan dalam pandangan dan sikap politik,
yakni Amien Rais. Mantan ketua MPR yang semasa menjabat pernah melantik dan
melengserkan Gus Dur -demikian KH Abdurrahman Wahid biasa dipanggil- dari kursi
kepresidenan itu menilai peran tokoh asal Jombang Jawa Timur tersebut sangat
besar dalam memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) dan pluralisme.
Gus Dur juga dinilai berperan besar dalam membangun dan mempersiapkan
demokratisasi di Indonesia. Pada saat semua lini dikuasai negara, Gus Dur
menggerakkan berbagai kekuatan sipil melalui berbagai cara. Mulai memberdayakan
warga NU sampai dalam posisinya sebagai tokoh masyarakat sipil yang bergerak
dengan Forum Demokrasi (Fordem) yang dipimpinnya. Dia juga aktif bergerak
melalui berbagai LSM (lembaga swadaya masyarakat) untuk memperkuat masyarakat
sipil vis a vis negara.
Yang menarik, kalau kelak Gus Dur ditetapkan sebagai pahlawan nasional, berarti
tiga generasi dari satu keluarga menjadi pahlawan. Mereka adalah KH Hasyim
Asy'ari (kakek), KH Wahid Hasyim (ayah), dan Gus Dur sendiri. Ini akan menjadi
rekor di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Betapa besar peran keluarga
pendiri NU itu dalam sejarah kebangsaan sehingga tiga generasi dari keluarganya
menjadi pahlawan nasional.
Pendulum
Salah satu yang menonjol dari Gus Dur adalah perannya sebagai bandul pendulum
gerakan keagamaan dan politik di Indonesia. Dalam kiprah dan pemikirannya, dia
tidak pernah berada dalam satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Ketika orang terlalu
bersemangat membawa warna Islam dalam politik di Indonesia, dia tentang arus
itu. Namun, dia juga tidak mau larut dalam sekularisme politik. Dia mainkan
peran pendulum tersebut dengan baik dalam sepanjang perjuangan politiknya.
Itu terlihat ketika dia bersikap kritis terhadap ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia). Saat itu, ada kecenderungan Islamisasi dalam negara melalui
organisasi yang didirikan para cendekiawan dan mendapat dukungan penuh dari
Presiden Soeharto. Wacana Islamisasi pemerintahan saat itu begitu kuat justru
pada akhir pemerintahan presiden kedua RI yang menjabat selama 32 tahun
tersebut. Lewat jalur itu pula muncul berbagai wacana konsep ekonomi Islam,
politik Islam, dan semacamnya.Pertarungan wacana pun terjadi. Dalam buku Demokrasi
Atas-Bawah; Strategi Perjuangan ala Gus Dur dan Amien Rais yang saya
terbitkan tergambar jelas pertarungan saat itu. Gus Dur mewakili strategi
perjuangan melalui penguatan masyarakat, sedangkan Amien Rais mewakili
perjuangan lewat kekuasaan negara. Gus Dur tidak menginginkan Islamisasi negara
lewat kekuasaan, tetapi mengambil jalan memperkuat posisi tawar masyarakat yang
mayoritas muslim. Baginya, demokrasi jelas akan memberikan jalan bagi banyak
sumber daya muslim dalam pemerintahan.
Saya belum mampu memformulasikan apakah ketika menjadi presiden selama dua
tahun Gus Dur tetap konsisten terhadap model perjuangannya. Yang jelas, ketika
dia berada di pusaran inti kekuasaan negara, banyak hal yang dilakukan untuk
peneguhan kekuatan sipil. Desakralisasi istana, kebijakannya memilih menteri
pertahanan dari sipil, dan berbagai kebijakan untuk minoritas adalah contoh
kecil dari benang merah