Opini Jawa Pos [Jum'at, 08 Januari 2010
Pelajaran
dari Gus Dur
Oleh: Ahmad Tohari
KANJENG Nabi Muhammad SAW pernah tidur di lantai tanah dengan hanya
beralas tikar daun kurma. Maka,
ada tanda-tanda guratan pada pipinya yang mulia ketika beliau bangun. Hal
yang hampir sama diamalkan mantan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau
Gus Dur yang pekan lalu kembali ke haribaan Sang Khaliq.
Pada 1995, Gus Dur tidur dua malam di rumah saya yang sederhana di kampung. Malam pertama dia mau tidur di
dipan kayu yang saya sediakan. Tetapi, malam kedua dia memilih sendiri tidur
di karpet murahan yang menutup lantai ruang tengah. Gus Dur tampak santai dan tidur amat lelap.
Kepalanya hanya tersangga bantal sandaran kursi.
Perihal Gus Dur suka tidur di karpet sudah saya ketahui sejak lama. Ketika
naik haji bersama pada 1988, saat tidur di hotel, Gus Dur memilih karpet
daripada kasur kelas satu kamar hotel berbintang lima. Tapi, itu karpet
kualitas super. Sedangkan saya hanya mampu membeli karpet murah yang kasar,
lagi pula debunya tak pernah disedot.
Kami percaya, Gus Dur melakukan semua itu dengan enak, tanpa pretensi apa
pun. Tapi, istri saya menjadi tak bisa tidur dan sepanjang malam sering
mengusap air mata. Saya pun merenung dalam kesadaran bahwa semua perilaku
orang berilmu mengandung pelajaran. Maka, pelajaran apa yang sedang diberikan
Gus Dur kepada kami?
Bertahun-tahun pertanyaan itu mengusik jiwa saya. Akhirnya saya mendapatkan
jawaban dan mudah-mudahan mendekati kebenaran. Dengan rela tidur di lantai,
Gus Dur sesungguhnya sedang mengajari kami menyadari hakikat diri bahwa
manusia sehebat apa pun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kemuliaan adalah
hak Allah semata. Maka, manusia, siapa pun, tidak pantas merasa mulia, tak
pantas minta, apalagi menuntut dimuliakan. Jadi, semua manusia sepantasnya
rela tidur di lantai karena sesungguhnya tak ada kemuliaan baginya melainkan
hak Allah.
Mungkin, jalan pikiran ini terlalu nyufi. Maka, saya mulai mencari
jawaban di wilayah sarengat (syariat, Red). Rasanya, saya menemukan
jawabannya, yakni pada rukun Islam yang pertama, syahadat. Setelah syahadat
(taukhid) diucapkan fasih dengan lisan, dibenarkan dengan akal yang dipercaya
dengan hati. Lalu? Seperti rukun Islam yang lain, syahadat sebenarnya
menuntut implemantasi dalam bentuk perilaku nyata sehar-hari. Kalau tidak
syahadat, hanya akan mewujud dalam wilayah simbol yang tidak melahirkan
ihsan.
Orang Islam mana yang tidak tahu bahwa syahadat adalah kesaksian bahwa tidak
ada ilah (Tuhan, Red) selain Allah? Semua tahu, mengerti, dan yakin.
Tapi, siapa yang sudah mengimplementasikan itu dalam kehidupan nyata? Kita
memang sudah menjaga kebersihan syahadat dengan tidak menyembah berhala,
tidak percaya dukun, bahkan mungkin tidak memberhalakan harta maupun
kedudukan. Itu sudah hebat sekali. Namun, masih ada pertanyaan kritis yang
menunggu dijawab: apakah karena sudah bersyahadat, kita tidak lagi
memberhalakan diri dalam segala bentuk dan manifestasinya?
Merasa diri mulia, istimewa, atau lebih ini lebih itu daripada orang lain
adalah manifestasi bentuk-bentuk awal pemujaan atau peng-ilah-an diri.
Tentu saja hal itu menodai keikhlasan syahadat. Sebab, hanya Allah yang
sejatinya mulia, sejatinya istimewa, dan serbalebih daripada makhluk mana
pun. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memelihara syahadatnya akan selalu
bersikap tahu diri kapan dan di mana pun.
Selama hampir 30 tahun saya bergaul dengan Gus Dur, sikap tahu diri itulah
yang tampak dan terasa memancar dari kepribadiaanya. Dia hormat kepada yang
tua, sayang kepada yang muda, dan amat bersahabat dengan teman seusia. Rasa
setiakawannya yang mendalam menembus batas ras, agama, status sosial, bahkan
batas kebangsaan.
Dalam satu kalimat, Gus Dur adalah orang yang sangat tahu diri dan merasa
dirinya biasa, sama dengan orang lain. Itulah pelajaran dan keteladanan yang
saya dapatkan. Itulah cara Gus Dur mengajari saya memelihara syahadat.
Caranya, tidak menganggap diri mulia atau istimewa karena keduanya adalah hak
Allah.
Dengan demikian, saya mengerti mengapa Gus Dur rela dan enak saja tidur di
lantai rumah saya yang sederhana. Agaknya karena syahadat yang telah
terhayati mencegah dirinya merasa istimewa atau merasa sebagai manusia mulia.
Sementara kebanyakan kita, karena tidak menghayati syahadat, sering merasa
diri mulia atau terhormat, atau bahkan menuntut kehormatan. Padahal, sikap
seperti itu jelas mengurangi mutu kesaksian bahwa tidak ada ilah
selain Allah. Wallahu a'lam.
*). Ahmad Tohari, budayawan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar