Kisah Dua Tukang Sol
March 31st, 2009
Add caption |
Mang Udin, begitulah dia dipanggil,
seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang sering disebut tukang sol sepatu. Pagi buta sudah melangkahkan
kakinya meninggalkan anak dan istrinya. Dia berharap nanti sore pulang membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit
lauk pauk. Mang Udin terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya,”sol
sepatu…..sol sepatu….!”. Namun hingga sampai tengah hari, baru satu orang yang
menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.
Perut Mang Udin mulai keroncongan.
Hanya air teh bekal dari rumah yang mengganjal perutnya. Mau beli makan,
uangnya tidak cukup. Hanya berharap dapat order besar sehingga bisa pulang membawa
uang. Perutnya sendiri tidak dia hiraukan.
Di tengah keputusasaan, dia berjumpa
dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini
sudah dapat uang banyak nich.” pikir mang Udin. Mereka berpapasan dan saling
menyapa. Akhirnya berhenti untuk bercakap-cakap.
“Bagaimana dengan hasil hari ini bang?
Sepertinya laris nich?” kata mang Udin memulai percakapan.
“Alhamdulillah. Ada beberapa orang
memperbaiki sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang
Soleh.
“Saya baru satu bang, itu pun cuma
benerin jahitan.” kata mang Udin memelas.
“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”
“Mau disyukuri gimana, nggak cukup buat
beli beras juga.” kata mang Udin sedikit kesal.
“Justru dengan bersyukur, nikmat kita
akan ditambah.” kata bang Soleh sambil tetap tersenyum.
“Emang begitu bang?” tanya mang Udin,
yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.
“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu,
sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Soleh sambil mengangkat pikulannya.
Mang udin sedikit kikuk, karena dia
tidak pernah “mampir” ke tempat shalat.
“Ayolah, kita mohon kepada Allah supaya
kita diberi rezeki yang barakah.”
Akhirnya, mang Udin mengikuti bang
Soleh menuju sebuah masjid terdekat. Bang Soleh begitu hapal tata letak masjid,
sepertinya sering ke masjid tersebut.
Setelah shalat, bang Soleh mengajak
mang Udin ke warung nasi untuk makan siang. Tentu saja mang Udin bingung, sebab
dia tidak punya uang. Bang Soleh mengerti,
“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang
traktir.”
Akhirnya mang Udin ikut makan di warung
Tegal terdekat. Setelah makan, mang Udin berkata,
“Saya tidak enak nich. Nanti uang untuk
dapur abang berkurang dipakai traktir saya.”
“Tenang saja, Allah akan menggantinya.
Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Soleh tetap tersenyum.
“Abang yakin?”
“Insya Allah.” jawab bang soleh
meyakinkan.
“Kalau begitu, saya mau shalat lagi,
bersyukur, dan mau memberi kepada orang lain.” kata mang Udin penuh harap.
“Insya Allah. Allah akan menolong
kita.” Kata bang Soleh sambil bersalaman dan mengucapkan salam untuk berpisah.
Keesokan harinya, mereka bertemu di
tempat yang sama. Bang Soleh mendahului menyapa.
“Apa kabar mang Udin?”
“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah
mengikuti saran Abang, tapi mengapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini,
satu pun pekerjaan belum saya dapat.” kata mang Udin setengah menyalahkan.
Bang Soleh hanya tersenyum. Kemudian
berkata,
“Masih ada hal yang perlu mang Udin
lakukan untuk mendapat rezeki barakah.”
“Oh ya, apa itu?” tanya mang Udin
penasaran.
“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang
Soleh sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.
Keesokan harinya, mereka bertemu lagi,
tetapi di tempat yang berbeda. Mang Udin yang berhari-hari ini sepi order
berkata setengah menyalahkan lagi,
“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak
dapat order, sekarang juga belum. Apa saran abang tidak cocok untuk saya?”
“Bukan tidak, cocok. Mungkin keyakinan
mang Udin belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana mang
Udin yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Soleh sambil tetap
tersenyum.
Mang Udin cukup tersentak mendengar
penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia “hanya”
coba-coba menjalankan apa yang dikatakan oleh bang Soleh.
“Bagaimana supaya yakin bang?” kata
mang Udin sedikit pelan hampir terdengar.
Rupanya, bang Soleh sudah menebak,
kemana arah pembicaraan.
“Saya mau bertanya, apakah kita janjian
untuk bertemu hari ini, disini?” tanya bang Soleh.
“Tidak.”
“Tapi kenyataanya kita bertemu, bahkan
3 hari berturut. Mang Udin dapat rezeki bisa makan bersama saya. Jika bukan
Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Soleh. Mang Udin terlihat
berpikir dalam. Bang Soleh melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, hanya saja kita jarang atau
kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan
menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap,
karena kita tidak yakin.”
Mang Udin manggut-manggut. Sepertinya
mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.
“OK dech, saya paham. Selama ini saya
akui saya memang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing
saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih
abang.” kata mang Udin, matanya terlihat berkaca-kaca.
“Berterima kasihlah kepada Allah.
Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada
Allah.”
Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai
berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan
lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar