Juru Selamat
Ada 3 orang musafir yang kemalaman ditengah perjalanan, sampai terpaksa menginap di dalam sebuah gua. Pada waktu mereka sedang tertidur, tiba-tiba sebongkah batu besar terjatuh dari atas dan menutupi lubang gua sehingga ketiga orang itu terkurung tidak dapat keluar.
Segala daya upaya telah dilakukan untuk menggeser batu besar itu, namun sedikitpun tidak bergerak. Sesudah merenung-renung, salah seorang diantara mereka teringat akan ajaran gurunya. Ia lalu berkata, “Sungguh kita takkan dapat menyelamatkan diri dari mati terperangkap di dalam gua, kecuali bila minta tolong kepada Allah dengan bertawassul melalui amal kebajikan kita masing-masing, menurut pendapat dan pengalaman kita paling berharga.”
Kedua orang temannya menyetujui saran itu. Maka musafir yang pertama lantas berkata, “Ya Allah, saya mempunyai ayah dan ibu sudah tua. Saya tidak pernah memberi minum susu kepada siapa pun sebelum kedua orang tua saya minum lebih dulu, termasuk anak-anak dan keluarga saya yang lainnya. Pada suatu hari saya bepergian agak jauh sehingga pada waktu pulang, ayah dan ibu sudah terpulas di tempat tidur. Saya memerah susu untuk kedua orang tua itu dan saya menunggu terus sampai tertidur di sebelah kaki mereka. Sementara itu, anak-anak saya menangis minta susu, namun tidak saya berikan sebab orang tua saya belum meminumnya. Saya terus menunggu hingga terbit fajar keesokan harinya. Ya Allah, andaikata perbuatan itu saya lakukan semata-mata karena Engkau menurut penilaian-Mu, tolonglah kami agar terbebas dari gua yang gelap ini.”
Ketiga musafir tersebut kemudian bersama-sama mendorong batu penutup gua tadi. Batu tersebut bergeser, namun cuma sedikit saja hingga mereka belum bisa keluar.
Musafir yang kedua lantas berkata pula, “Ya Allah, dahulu saya pernah terpikat oleh putri paman sendiri. Karena terlalu besar kerinduan dan cinta saya kepadanya, maka saya selalu merayu dan membujuknya untuk mau berbuat zina dengan saya. Putri paman itu senantiasa menolak ajakan saya dengan keras. Sampai pada suatu ketika kemarau panjang melanda kami dan keluarga gadis itu sudah mulai dihantui bahaya kelaparan. Pada waktu itu datang minta bantuan, kesempatan itu saya pergunakan untuk mengulangi ajakan saya. Bahwa saya bersedia memberikannya uang sebesar 120 dinar dengan syarat ia bersedia saya ajak naik pembaringan. Terkabullah keinginan itu. Di sebuah kamar yang sepi, waktu saya sudah berada di atas kedua kakinya, putri paman itu menangis dan berkata, “Takutlah kepada Allah dan janganlah kau robek penutupku kecuali secara halal.” Mendengar ucapan dan tangisnya, saya segera bangun. Saya menjauhkan diri cepat-cepat, padahal saya betul-betul amat menginginkannya. Sedangkan uang yang 120 dinar itu saya relakan untuk dia, tanpa menyentuh sedikitpun auratnya. Ya Allah, andaikata perbuatan itu saya lakukan semata-mata karena Engkau dalam penilaian-Mu, lepaskanlah kami dari kemalangan ini.”
Ketiga musafir itu lalu kembali beramai-ramai mendorong batu besar tersebut. Ternyata usaha mereka menunjukkan hasil, namun belum cukup untuk meloloskan diri keluar. Sebab batu itu hanya bergeser sedikit.
Musafir yang ketiga pun segera mengangkat kedua tangannya ke atas dan mengadu, “Ya Allah, saya dahulu mempunyai banyak buruh. Tiap saat saya bayar mereka tepat pada waktunya. Pada suatu hari, ketika saya sedang membagi-bagikan upah kepada mereka, salah seorang pergi entah kemana dan tidak pernah kembali. Bagian upahnya itu lantas saya perniagakan sehingga jumlahnya bertambah besar menjadi kekayaan yang cukup berharga. Beberapa tahun kemudian, buruh saya yang satu itu datang dan menuntut kembali upah yang dulu ditinggalkannya. Saya pun mengatakan kepadanya, “Ambillah seluruh harta kekayaan yang berada di depanmu itu. Yaitu puluhan unta, lembu, kambing dan budak-budak penggembalanya.” Buruh saya itu marah, merasa tersinggung. Disangkanya saya mempermainkannya untuk menghina kemiskinannya. Saya kemudian menerangkan duduk perkara yang sebenarnya. Maka dengan serta merta diambilnya semua yang saya perlihatkan kepadanya, tanpa menyisakan apa-apa sama sekali dan pergi begitu saja dengan tidak mengucapkan permisi apalagi terima kasih. Ya Allah, andaikata semua ini saya lakukan betul-betul ikhlas hanya karena Engkau, tolonglah kami agar dapat keluar dari terperangkap di dalam gua ini.”
Kali ini, dengan mudah mereka dapat menyingkirkan batu besar itu sehingga dengan selamat bisa kembali ke rumah masing-masing. Begitulah kisah yang ibarat menunjukkan amal mana paling besar pahalanya dalam pandangan Agama Islam, sebagaimana diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya.
Sumber :
Buku 30 Kisah Teladan 3 oleh KH. Abdurrahman Arroisi
Ada 3 orang musafir yang kemalaman ditengah perjalanan, sampai terpaksa menginap di dalam sebuah gua. Pada waktu mereka sedang tertidur, tiba-tiba sebongkah batu besar terjatuh dari atas dan menutupi lubang gua sehingga ketiga orang itu terkurung tidak dapat keluar.
Segala daya upaya telah dilakukan untuk menggeser batu besar itu, namun sedikitpun tidak bergerak. Sesudah merenung-renung, salah seorang diantara mereka teringat akan ajaran gurunya. Ia lalu berkata, “Sungguh kita takkan dapat menyelamatkan diri dari mati terperangkap di dalam gua, kecuali bila minta tolong kepada Allah dengan bertawassul melalui amal kebajikan kita masing-masing, menurut pendapat dan pengalaman kita paling berharga.”
Kedua orang temannya menyetujui saran itu. Maka musafir yang pertama lantas berkata, “Ya Allah, saya mempunyai ayah dan ibu sudah tua. Saya tidak pernah memberi minum susu kepada siapa pun sebelum kedua orang tua saya minum lebih dulu, termasuk anak-anak dan keluarga saya yang lainnya. Pada suatu hari saya bepergian agak jauh sehingga pada waktu pulang, ayah dan ibu sudah terpulas di tempat tidur. Saya memerah susu untuk kedua orang tua itu dan saya menunggu terus sampai tertidur di sebelah kaki mereka. Sementara itu, anak-anak saya menangis minta susu, namun tidak saya berikan sebab orang tua saya belum meminumnya. Saya terus menunggu hingga terbit fajar keesokan harinya. Ya Allah, andaikata perbuatan itu saya lakukan semata-mata karena Engkau menurut penilaian-Mu, tolonglah kami agar terbebas dari gua yang gelap ini.”
Ketiga musafir tersebut kemudian bersama-sama mendorong batu penutup gua tadi. Batu tersebut bergeser, namun cuma sedikit saja hingga mereka belum bisa keluar.
Musafir yang kedua lantas berkata pula, “Ya Allah, dahulu saya pernah terpikat oleh putri paman sendiri. Karena terlalu besar kerinduan dan cinta saya kepadanya, maka saya selalu merayu dan membujuknya untuk mau berbuat zina dengan saya. Putri paman itu senantiasa menolak ajakan saya dengan keras. Sampai pada suatu ketika kemarau panjang melanda kami dan keluarga gadis itu sudah mulai dihantui bahaya kelaparan. Pada waktu itu datang minta bantuan, kesempatan itu saya pergunakan untuk mengulangi ajakan saya. Bahwa saya bersedia memberikannya uang sebesar 120 dinar dengan syarat ia bersedia saya ajak naik pembaringan. Terkabullah keinginan itu. Di sebuah kamar yang sepi, waktu saya sudah berada di atas kedua kakinya, putri paman itu menangis dan berkata, “Takutlah kepada Allah dan janganlah kau robek penutupku kecuali secara halal.” Mendengar ucapan dan tangisnya, saya segera bangun. Saya menjauhkan diri cepat-cepat, padahal saya betul-betul amat menginginkannya. Sedangkan uang yang 120 dinar itu saya relakan untuk dia, tanpa menyentuh sedikitpun auratnya. Ya Allah, andaikata perbuatan itu saya lakukan semata-mata karena Engkau dalam penilaian-Mu, lepaskanlah kami dari kemalangan ini.”
Ketiga musafir itu lalu kembali beramai-ramai mendorong batu besar tersebut. Ternyata usaha mereka menunjukkan hasil, namun belum cukup untuk meloloskan diri keluar. Sebab batu itu hanya bergeser sedikit.
Musafir yang ketiga pun segera mengangkat kedua tangannya ke atas dan mengadu, “Ya Allah, saya dahulu mempunyai banyak buruh. Tiap saat saya bayar mereka tepat pada waktunya. Pada suatu hari, ketika saya sedang membagi-bagikan upah kepada mereka, salah seorang pergi entah kemana dan tidak pernah kembali. Bagian upahnya itu lantas saya perniagakan sehingga jumlahnya bertambah besar menjadi kekayaan yang cukup berharga. Beberapa tahun kemudian, buruh saya yang satu itu datang dan menuntut kembali upah yang dulu ditinggalkannya. Saya pun mengatakan kepadanya, “Ambillah seluruh harta kekayaan yang berada di depanmu itu. Yaitu puluhan unta, lembu, kambing dan budak-budak penggembalanya.” Buruh saya itu marah, merasa tersinggung. Disangkanya saya mempermainkannya untuk menghina kemiskinannya. Saya kemudian menerangkan duduk perkara yang sebenarnya. Maka dengan serta merta diambilnya semua yang saya perlihatkan kepadanya, tanpa menyisakan apa-apa sama sekali dan pergi begitu saja dengan tidak mengucapkan permisi apalagi terima kasih. Ya Allah, andaikata semua ini saya lakukan betul-betul ikhlas hanya karena Engkau, tolonglah kami agar dapat keluar dari terperangkap di dalam gua ini.”
Kali ini, dengan mudah mereka dapat menyingkirkan batu besar itu sehingga dengan selamat bisa kembali ke rumah masing-masing. Begitulah kisah yang ibarat menunjukkan amal mana paling besar pahalanya dalam pandangan Agama Islam, sebagaimana diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya.
Sumber :
Buku 30 Kisah Teladan 3 oleh KH. Abdurrahman Arroisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar