KH.KHOLIL
Selanjjutnya kami sampaikan pulaDalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”,
Saifur Rachman menulis: “Selama dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam
keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan
membaca Al-Qur’an dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan
wirid dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus sampai di
Makkah. Setibanya di mekkah Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari
Jawa. Selama di Makkah Kholil mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan. Banyak
para Syaikh yang Kholil datangi.
Selama menempuh pendidikan di Makkah,
kebiasaan hidup sederhana dan prihatin tetap dijalankan seperti waktu
dipesantren Jawa. Kholil sering makan kulit semangka ketimbang makanan yang
wajar pada umumnya. Sedangkan minumannya dari air zamzam, begitu dilakukannya
terus menerus selama empat tahun di mekkah. Hal ini mengherankan teman-teman
seangkatannya, seperti Nawawi dari banten, Akhmad Khatib dari Minang Kabau dan
Ahmad Yasin dari Padang. Bahkan ketika bermaksud buang air besar, Kholil tidak
pernah melakukan di Tanah Haram, tetapi keluar ke tanah halal karena menghormati Tanah
Haram.
Didalam berguru, Kholil mencatat
pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai kertas tulis. Kemudian,
setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci, kemudian dipakai lagi. Begitu
seterusnya dilakukan selama belajar di Mekkah. Oleh sebab itu pakaian Kholil
semuanya berwarna putih. Tentang biaya selama nyantri di Mekkah Kholil menulis
pelbagai risalah dan kitab kemudian dijual. Kholil banyak menulis kitab Alfiah
dan menjualnya seharga 200 real perkitab.
Terkadang memanfaatkan keahliannya menulis khat (kaligrafi) untuk menghasilkan uang. Semua uang hasil penulisan risalah dan kitab kemudian dihaturkan kepada gurunya. Kholil sendiri memilih kehidupan sangat sederhana. Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama nyantri di mekkah adalah pengaruh kuat ajaran Imam Ghazali, salah seorang ulama yang dikaguminya.
Dalam mengarungi lautan ilmu di Makkah,
disamping mempelajari ilmu dhohir (eksoterik), seperti tafsir, Hadits, Fikih
dan ilmu nahwu, juga mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru
spiritual. Tercatat guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas
Ibnu Abdul Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib
mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah. Biasanya kedua thariqoh
ini terpisah dan berdiri sendiri. Namun setelah Syaikh Ahmad Khatib, kedua
thariqoh ini dipadukan.
CARA BELAJAR SYEKH KHOLIL
Kesimpulannya, didalam menuntut ilmu,
Syekh Kholil telah maksimal mengusahakan hal-hal berikut:
1. Ikhlas karena Allah SWT.
Beliau tidak peduli dengan pahitnya kehidupan
saat itu, karena yang beliau pentingkan adalah ilmu, dengan harapan Allah ridha
dengan ilmu yang beliau dapat. Beliau dapat membuktikan keikhlasan itu ketika
Allah SWT menguji beliau dengan hidup yang serba kekurangan.
2. Akhlaq yang tinggi kepada Allah SWT.
Kita bisa lihat akhlaq beliau ketika beliau
harus keluar dari tanah haram (Makkah) untuk buang air besar. Beliau merasa
tidak sopan buang hajat di tanah suci. Ini menunjukkan betapa Syekh Kholil
sangat tawadhu’ dan peka terhadap Allah.
3. Cinta, hormat dan patuh kepada guru,
tentunya setelah memilih guru yang layak.
Apapun beliau berikan kepada guru, untuk
membantu dan membuat guru ridha. Dihadapan guru, beliau siap sedia untuk
diperintah melebihi budak dihadapan tuannya. Jangankan harta, nyawapun siap
dipertaruhkan untuk guru.
4. Mencintai ilmu sehingga beliau rajin
belajar.
Dengan menggabung empat hal ini, Syekh
Kholil berhasil mendapatkan ilmu yang banyak dan barokah, dan semua itu
kemudian mengantarkan beliau mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah, yaitu
sebagai ulama da wali Allah. Bagi yang ingin mendapatkan apa yang diperoleh Syekh
Kholil, maka empat hal itulah kuncinya.
GURU-GURU SYEKH KHOLIL DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH
Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”,
Saifur Rachman menulis: “Muhammad Kholil bersama Abdul Karim dan Tolhah berguru
kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Setelah ketiganya mendapat ijazah dan berhak
sebagai mursyid, lalu pulang ke Jawa menyebarkan thariqoh Qodariyyah dan
Naqsyabandiyyah.
Menurut Abah Anom, seorang mursyid
Thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah di Tasikmalaya, Syaikh Abdul Karim
menyebarkan Thariqot di Banten, Syaikh Tolhah di Cirebon dan syaikh Kholil di
Madura. Tentang keabsahan Thariqoh Kiai Kholil banyak kekhilafan diantara
ulama. Namun menurut catatan penulis yang mendengar langsung lewat kaset
penjelasan murid Kiai Kholil, Kiai As’ad Syamsul Arifin, bahwa thariqoh Kiai
Kholil adalah Qodariyyah wan Naqsabandiyyah.
Dengan demikian silsilah Kiai kholil
dalam kemursyidan thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah dari jalur Syaikh
Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai berikut :
1. Allah SWT Rabbul Alamin.
2. Jibril AS.
3. Nabi Muhammad SAW.
4. Ali Bin Abi Thalib.
5. Husein Bin Ali.
6. Zaenal Abidin
7. Muhammad Al-Baqir.
8. Ja’far Ash-Shodiq.
9. Imam Musa Al-Kazhim.
10. Abu Hasan Ali Ar-Ridho
11. Ma’ruf Karkhi
12. Sari As-Saqoti
13. Abu Qosim Junaid Al-Baghdadi
14. Abu Bakar Asy-Syibli
15. Abu Fadly Abd Wahidi At-Tamimi
16. Abu Farazi At-Thurthusil
17. Abu Hasan Ayyub
18. Abu Said Al-Mubarok
19. Abdul Qodir Al-Jailani
20. Abdul Aziz
21. Muhammad Al-Hattak
22. Syamsudin
23. Syarifudin
24. Nurudin
25. Waliyyuddin
26. Hisyammuddin
27. Yahya
28. Abu Bakar
29. Abdurrahim
30. Utsman
31. Abdul Fattah
32. Muhammad Muraad
33. Syamsudin
34. Ahmad Khatib Sambas
35. Muhammad Kholil Bangkalan
Melihat kewenangan Kiai Kholil sebagai
mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah menunjukkan beliau memiliki
derajat yang tinggi di dalam maqom spiritualnya. Menurut penuturan Kiai As’ad
Syamsul Arifin, pada saat Kiai Kholil berzikir di ruangan majlis dzikir,
apabila lampu dimatikan sering terlihat sinar biru yang sangat terang memenuhi
ruangan tersebut.
Sementara itu, ada empat nama yang saya
baca dalam tulisan tangan Syekh Kholil, nampaknya mereka ini adalah guru-guru
beliau sewaktu belajar di Makkah Al-Mukarramah, yaitu:
1. Syekh Ali Al-Mishri: Nama ini saya
dapatkan pada salah satu surat Syekh Kholil kepada Kiai Muntaha ketika Kiai
Muntaha belajar di Makkah.
2. Syekh Umar As-Sami: Saya temukan pada
tulisan Syekh Kholil sebagai catatan pinggir kitab Al-Matan Asy-Syarif (ilmu
nahwu). Di situ Beliau menyitir banyak keterangan yang beliau terima dari Syekh
Umar As-Sami.
3. Syekh Khalid Al-Azhari,
4. Syekh Al-Aththar
5. dan Syekh Abun-Naja: Mereka bertiga
juga sering disebut dalam beberapa
tulisan tangan Syekh Kholil sebagai orang
yang memberikan keterangan-keterangan dalam ilmu nahwu. Nama-nama itu tersebar
di berbagai kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Saya melihat dan mempelajari
tulisan-tulisan itu dari kitab-kitab Syekh Kholil yang ada pada Kiai Thoha
Kholili.
Syek Ali Ar-Rahbini, guru terdekat Syekh
Kholil
Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah
Ar-Rahbini. Beliau adalah salah satu ulama Makkah. Saya pernah membaca biografi
beliau dalam sebuah kitab “Tarajim” yang saya pinjam dari Syekh Ruwaid bin
Hasan Ar-Rahbini ketika beliau bertandang ke Malang, namun sayang sekali saya
tidak sempat meng-copy kitab itu, sayapun lupa sebagian besar isinya. Kejadian
itu memang sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1992 dimana pada saat itu saya
baru berusia 17 tahun.
Adapun putra beliau yag bernama Syekh
Muhammad bin Ali, maka Syekh Umar Abdul Jabbar, dalam kitab “tarajim”nya,
menulis bahwa beliau lahir pada tahun 1286 H (+ 1871) dan wafat tahun 1351 H (+
1934). Maka Syekh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syekh Kholil.
Beliau masuk dalam jajaran ulama Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid Abbas
bin Abdul Aziziz Al-Maliki (kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas
Al-Maliki). Menurut Syekh Umar Abdul Jabbar, Syekh Muhammad bin Ali memiliki
Majlis ta’lim di Babul Umroh Masjidil Haram. Bisa jadi, Syekh Muhamad
menggatikan majlis ayah beliau, sebagaimana adat ulama
Makkah apabila meneruskan profesi orang
tuanya. Syekh Ali dan Syekh Muhammad masyhur dengan keahlian yang menonjol
dalam bidang qira’at (riwayat bacaan Al-Qura’an). Mereka hafal Al-Qur’an dengan
tujuh qira’at (riwayat).
Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini, Di akhir
hayat beliau tertimpa sakit hingga
mengalami kebutaan, sehingga beliaupun
berhenti mengajar di Masjidil Haram. Namun Syekh Kholil tidak berhenti belajar
kepada Syekh Ali setelah beliau buta, karena Syekh Kholil memohon izin untuk
terus belajar di rumah beliau dan beliaupun berkenan. Syekh Kholil sangat
menghormati dan meyakini Syekh Ali, sehingga ketika Syekh Ali meyuruh Syekh
Kholil pulang, Syekh Kholil mematuhi perintah itu walau sebenarnya beliau masih
merasa kurang ilmu dan masih ingin menambah ilmu. Berkat kepatuhan itu Syekh
Kholil diberkati oleh Allah SWT.
Pada tahun 1997 saya bersilaturrahim
kepada Syekh Muhammad Thayyib bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini di Makkah, cucu
Syekh Ali Ar-Rahbini, waktu itu beliau telah berusia 95 tahun dan saya baru
berusia 22 tahun. Kebetulan, ibu saya adalah cucu Syekh Ali dari jalur Syekh
Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, maka saya pernah “buyut paman” pada Syekh
Muhammad Thayyib. Diantara riwayat yang saya ambil dari beliau adalah bahwa
Syekh Ali Ar-Rahbini memiliki karya tulis tentang Al-Qur’an, namun sampai saat
itu manuskripnya hilang entah kemana.
Mengenai nisbat Ar-Rahbini, Rahbin adalah
nama sebuah kampung di dekat kota Samannud, Mesir. Syekh Ali memang keturunan
Mesir. Beliau yang pertama wafat di Makkah. Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad
Amin wafat
di Istambul, Turki. Sedang kakek beliau,
yaitu Syekh Athiyyah, dan beberapa generasi sebelumnya tinggal di kampung
Rahbin itu. Keluarga Ar-Rahbini yang di Indonesia memegang silsilah hanya
sampai Athiyyah. Menurut Syekh Ruwaid bin Hasan bin Ali Ar-Rahbini, cucu beliau
yang tinggal di Jiddah, nasab Al-Rahbini bersambung pada Sayyidina Utsman bin
Affan.
Setelah Syekh Kholil pulang ke Indonesia,
beliau tidak putus hubungan dengan Syekh Ali. Setelah Syekh Ali meninggal,
ternyata putra beliau, Syekh Muhammad, juga menonjol kelimannya dan mengajar di
Masjidil Haram. maka keponakan Syekh Kholilpun, yaitu Kiai Muntaha yang kelak
kemudian menjadi menantu beliau, belajar pada Syekh Muhammad bin Ali
Ar-Rahbini.
Hubungan Syekh Kholil dengan keluarga
Ar-Rahbini tidak berhenti sampai pada Syekh Muhammad, melainkan berlangsung
sampai pada Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, karena cucu guru beliau
itu akhirnya datang ke Indonesia.
Cerita kedatangan Syekh Ali cukup menarik
sehingga layak untuk dimuat sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil.
Pada suatu pagi setelah shalat shubuh,
seperti biasa Syekh Kholil mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil
menutup kitab dan berkata: “Anak-anak, pengajian kali ini singkat saja,
sekarang kalian langsung membersihkan halaman dan ruang tamu, karena sebentar
lagi ada tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.
Setelah semua lingkungan pondok bersih,
maka datanglah Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Syekh Kholil sudah
tahu bakal kedatangan tamu jauh, padahal waktu itu belum ada telpon.
Setelah Syekh Ali datang, maka Syekh
Kholil menciumi Syekh Ali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu
cinta dan hormatnya beliau terhadap Syekh Ali sebagai cucu dari guru beliau.
Kemudian Syekh Kholil menyuruh santri untuk mengambil tiga gelas diatas nampan,
gelas yang pertama diisi air putih, gelas kedua diisi susu, gelas ketiga diisi
kopi. Kemudian Syekh Kholil berkata pada santri-santri: “Apabila Syekh Ali
minum susu, Insya Allah beliau tidak lama di Indonesia. Apabila Syekh Ali minum
air putih, Insya Allah beliau akan tinggal lama di Indonesia dan akan pulang ke
Makkah. Dan apabila Syekh Ali minum kopi, Insya Allah beliau terus tinggal di
Indonesia.” Mendengar ucapan Syekh Kholil tersebut, para santri menunggu
saatnya Syekh Ali memilih diantara tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih
dan meminum kopi, padahal kopi Madura (Indonesia) lain dengan kopi Arab. Kontan
saja para santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja karena tidak
mengerti apa yang terjadi, beliau pikir sorak gembira itu adalah bagian dari
adat menyambut tamu.
Syekh Ali datang ke Indonesia pada tahun
1921, beberapa tahun sebelum Syekh Kholil wafat. Waktu itu Syekh Ali masih
berusia 18 tahun dan masih lajang, namun sudah hafal Al-Qur’an dan perawakannya
tinggi besar dengan wajah putih berbulu lebat. Dengan ilmu dan perawakannya itu
beliau tidak nampak seperti anak muda, melainkan sudah berwibawa.
Kendatipun Syekh Kholil sangat
menghormati Syekh Ali, namun Syekh Ali juga tidak kalah menghormati Syekh
Kholil, bahkan Syekh Ali kemudian berguru pada Syekh Kholil. Tidak sampai di
situ, melainkan Syekh Ali menjadi sangat ta’zhim dan fanatik terhadap Syekh
Kholil. Beliaupun menikahkan salah satu cucu beliau dengan seorang cucu Syekh
Kholil. Ketika lahir anak pertama pasangan sang Kiai cucu Syekh Kholil dan sang
Nyai cucu Syekh Ali, Syekh Ali memberi bayi itu Nama “Kholil”. Semula sang Kiai
cucu Syekh Kholil itu keberatan, karena di keluarga beliau sudah banyak yang
bernama “Kholil”. Menanggapi keberatan itu kemudian Syekh Ali marah dan
berkata: “Biarpun sudah ada seribu ‘Kholil’, anakmu tetap harus diberi nama
‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’ seribu barokah!” Akhirnya anak itupun kemudian diberi
nama “Kholil”.
Itu adalah sebagian cerita antara Syekh
Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini. Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini sendiri kemudian
tinggal di Gondanglegi Malang. Beliau dikenal sebagai ulama yang hafal
Al-Qur’an dan fasih, suaranya yang lantang dan berwibawa membuat jamaah jum’at
betah mendengar khutbah beliau walaupun mereka tidak mengerti khutbah beliau
yang berbahasa Arab. Beliau juga dikenal wali, banyak cerita kezuhudan dan
karomah beliau yang tentu terlalu panjang untuk dimasukkan dalam bab ini.
Beliau menikah dengan beberapa wanita
Jawa dan Madura, dari lima orang istri beliau mempunyai 24 putra-putri.
Beberapa putri beliau dinikahkan dengan Kiai-kiai Madura, yaitu Nyai Lathifah
dengan Kiai Shonhaji Jazuli (ulama besar Pamekasan); adiknya, yaitu Nyai Aminah
dengan adik Kiai Shonhaji, yaitu Kiai Mahalli; Nyai Sarah dengan Kiai Asim
Luk-guluk (ulama besar Sumenep); Nyai Qudsiyah dengan Kiai Abdul Aziz Ombhul
(ulama besar Sampang). Adapun dari putra-putra beliau ada dua orang yang
meneruskan perjuangan beliau, yaitu Kiai Fauzi di Gondanglegi, Malang dan Kiai
Khairuman yang mendirikan pondok pesantren di Pontianak, yaitu Pesantren Darul
Ulum yang merupakan pesantren terbesar dan terkenal di Kalimantan Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar