BIOGRAFI MBAH KHOLIL
Kiai Asror memiliki putra dan putri.
Diantara mereka adalah Kiai Khotim, ayah dari Kiai Nur Hasan pendiri Pesantren
Sidogiri Pasuruan. Diantara mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini
belum diketahui nama aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari
mereka dinikahkan dengan Kiai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab
pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan).
Melalui Kiai Abbas, Kiai Asror memiliki
cucu bernama Kiai Kaffal. Dan melalui Kiai Hamim, beliau memiliki cucu bernama
Kiai Abdul Lathif. Kiai Abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan
Nyai Sa’diyah. Kemudian Nyai Maryam dinikahkan dengan Kiai Kaffal dan Nyai
Sa’diyah dinikahkan dengan seorang Kiai dari Socah, Bangkalan.
Kiai Abdul Lathif adalah seorang da’i
keliling. Beliau menjalani kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal
keduniaan. Apalagi sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (ibu Nyai Maryam),
sejak saat itu beliau lebih aktif da’wah ke kampung-kampung, beliaupun jarang pulang
ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri.
Pada suatu hari, setelah beberapa tahun
Kiai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan
membawa seorang anak laki-laki kira-kira berumur tujuh tahunan. Kiyai Abdul
Lathif berkata pada Nyai Maryam: “ Wahai Maryam, Aku telah menikah lagi dan ini
adalah adikmu. Kutinggalkan ia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku
mendidikmu.” Setelah itu Kiyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana biasa. Tidak
ada yang tahu kapan persisnya kejadian itu, sebagaimana tidak ada yang tahu
kapan persisnya Kiai Kholil di lahirkan. Sebagian sesepuh keturunan Syeh Kholil
ada yang memperkirakan bahwa Syeh Kholil lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar
tahun 1835 M.
Cerita ini mengingatkan kita pada cerita
Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau
harus meninggalkan Isma’il, putra beliau
yang masih bayi, di sebuah lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus
pergi jauh ke Palestina untuk
menjalankan tugas da’wah. Siapa yang
tidak sedih menyimak cerita ini, seorang ayah yang bersabar meninggalkan
anaknya yang masih kecil, padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan
bercanda dengan anak seusia Kholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai
Maryam, sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah
yang mulai senja, inginnya hati Nyai Maryam merawat sang ayah, mestinya sang
ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar, bhwa keluarga mereka
adalah keluarga pengabdi pada agama, tidak ada istirahat untuk berda’wah sampai
ajalpun tiba, istirahat mereka adalah di peraduan abadi bersama para leluhur
mereka.
Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu
Kiai Abdul Lathif tidak pernah pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir
beliau melihat Nyai Maryam dan putra sulung beliau itu.
PENDIDIKAN
Nyai Maryam bersama sang suami, Kiai
Kaffal, mulai merawat dan mendidik Kholil kecil. Mengajarinya membaca Al-qur’an
dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Kholil kecil, Kiai
Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah pesantren, agar
Kholil kecil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka mereka pun
memilih pesantren Bunga, Gersik, yang diasuh oleh Kiai Sholeh itu.
Tidak beberapa lama kemudian setelah
Kholil kecil mondok di Bunga, terjadilah suatu peristiwa yang aneh. Ceritanya,
suatu ketika Kiai Sholeh pulang dari kondangan dalam keadaan lapar. Karena
sudah waktunya shalat, maka beliaupun meninggalkan bakul “berkat” (makanan
oleh-oleh kenduren) diatas sebuah meja dan bermaksud memakannya seusai shalat.
Kiai Sholeh kemudian mengimami shalat di
musholla pesantren bersama santri-santri
beliau. Ketika sedang shalat itu, tiba-tiba ada suara anak-anak tertawa
cekikian di belakang Kiai Sholeh. Setelah shalat selesai, Kiai Sholeh bertanya
dengan nada marah “Siapa yang tertawa tadi?” Maka berkatalah salah seorang
santri: “Ini, Kiai, bocah dari Madura ini yang tertawa.” Setelah selesai
dzikir, Kiai Sholeh memanggil bocah Madura yang tidak lain adalah Kholil kecil
itu. Kiaipun memerahinya dan memukul kakinya dengan tidak terlalu keras seraya
berkata: “Jangan ulangi lagi, ya?! Kalau waktu shalat jangan bergurau!”. Maka
Kholil kecilpun berkata: “Tapi, Kiai, saya tidak bergurau, kok. Saya tertawa
karena saya melihat Kiai shalat sambil berjoget dan di kepala Kiai ada bakul
nasinya.” Mendengar kata-kata Kholil kecil itu, Kiai Sholeh menjadi terkejut
dan heran, beliau teringat bahwa ketika sedang shalat tadi beliau memang sedang
memikirkan nasi berkat, beliau sempat hawatir karena lupa tidak menitipkan nasi
berkat itu, beliau hawatir nasi itu ada yang memakannya, karena beliau sedang
sangat lapar dan di rumah beliau tidak ada makanan lagi selain nasi berkat itu.
Menyadari hal aneh itu, Kiai Sholeh yakin bahwa Kholil kecil bukanlah anak sembarangan.
Keesokan harinya, Kiai Sholeh mengajak beberapa santri pergi ke Bangkalan untuk
Menemui Kiai Kaffal. Setibanya
di rumah Kiai Kaffal, Kiai Sholeh
langsung berbicara mengenai Kholil kecil.
“Kiai Kaffal, sebenarnya Kholil ini anak
siapa?” Tanya Kiai Sholeh.
“Dia anak mertua saya, yaitu Kiai Abdul
Lathif. Jadi dia adik ipar saya,saudara istri saya dari lain ibu.” Jawab Kiai
Kaffal.
“Lalu di mana Kiai Abdul Lathif
sekarang?”
“Tidak tahu, Kiai, beliau memang jarang
pulang, beliau suka keliling ke kampung-kampung untuk berda’wah. Beliau
menyerahkan Kholil kepada kami.”
“Kiai Kaffal, Kholil itu adalah anak yang
luar biasa. Saya rasa, saya kurang pas untuk mendidik dia. Cari saja Kiai lain
yang lebih mumpuni dari saya.”
Demikianlah inti pembicaran Kiai Sholeh
dengan Kiai Kaffal. Maka Kiai Kaffal pun menjemput Kholil kecil dari Bunga.
Tidak beberapa lama kemudian Syekh Kholil dimondokkan di Pesantren Cangaan,
Bangil, Pasuruan, yang di asuh oleh Kiai Asyik. Beberapa tahun kemudian,
Kholilpun sudah menginjak remaja dan ia pindah ke Pesantren Kebon Candi
Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Kholil muda belajar dan tinggal di
Pesantren Kebon Candi, namun sambil belajar pada Kiai Nur Hasan Sidogiri.
Setiap berangkat ke Sidogiri, beliau jalan kaki dari Kebon Candi yang berjarak
kurang lebih tujuh kilo meter. Dalam Perjalanan, baik pergi maupun pulangnya,
beliau membaca yasin empat puluh kali. Tiga Pesantren itu adalah tempat-tempat
belajar Syekh Kholil yang diriwayatkan dengan akurat dan shahih. Selain itu, ada
beberapa riwayat bahwa beliau juga pernah mondok di dua tempat lain, yaitu
Pesantren Langitan dan Pesantren Banyuwangi. Namun Menurut Kiai Kholil bin
Abdul Lathif bin Muhammad Thoha bin Kaffal, sebagaimana yang dituturkan Kiai
Thoha Kholili, dua Pesantren itu tidak dikenal oleh beliau sebagai tempat
belajar Syekh Kholil. Waalahu a’lam. Sejak kecil, sering terjadi hal-hal yang
aneh pada Syekh Kholil. Sebenarnya Nyai Maryam sudah sering melihat hal-hal
aneh Syekh Kholil sejak beliau baru diserahkan oleh Kiai Abdul Latif, namun
Nyai Maryam tidak segera menceritakan hal-hal aneh itu pada Kiai Kaffal.
Setelah sering terjadi dan Nyai Maryam hawatir terjadi apa-apa pada Kholil
kecil, akhirnya Nyai Maryam bercerita juga pada Kiai Kaffal, namun Kiai Kaffal
justru menganggap hal itu sebagai pertanda baik bagi Kholil kecil. Sampai usia
remaja, hal-hal aneh sering terjadi pada Syekh Kholil, baik di rumah maupun di
pesantern.
Selama di Pesantren, Syekh Kholil
terkenal sebagai santri yang rajin dan sabar. Beliau menjalani hidup yang
memprihatinkan, karena memang beliau nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada
yang membiayai. Karena beliau banyak memanfaatkan waktu untuk belajar,
beliaupun tidak sempat bekerja cukup untuk mendapat makanan yang layak, dan
akibatnya beliau harus makan makanan yang sangat tidak layak, seperti makanan
sisa, makanan basi yang telah dijemur, kulit semangka dan sebagainya.
Sebenarnya, hidup seperti itu tidak memprihatinkan buat Syekh Kholil, karena
beliau memiliki kebanggaan dan kenikmatan lain melebihi makanan lezat dan hidup
mewah, yaitu kenikmatan dan kebanggaan menuntut ilmu. Maka dari itu, walaupun
beliau menjalani hidup yang memprihatinkan menurut orang lain,namun tidaklah
memprihatinkan menurut beliau sendiri, wajah beliau tidak kalah bersahaja dari
pada teman-teman beliau yang hidupnya cukup atau berkecukupan.
Setelah cukup dewasa, Syekh Kholil
bermaksud melanjutkan belajar ke Makkah Al-Mukarramah.
Dalam buku “Surat kepada Anjing Hitam”,
Saifur Rachman menulis bahwa sebelum belajar di Makkah, Syekh Kholil belajar di
Pesantren Banyuwangi. Saifur Rachman Berkata: “Inilah Pesantren Kiai Kholil
yang ditempuh di Jawa. Selama di Pesantren ini Kholil santri mempunyai kisah
tersendiri. Pengasuh Pesantren ini mempunyai kebun kalapa yang sangat luas.
Kholil santri menjadi buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat tiga
sen. Semua hasil memetik kelapa disimpan didalam peti, lalu di persembahkan
pada Kiai. Tentang biaya makan sehari-hari, Kholil santri menjalani kehidupan
prihatin. Terkadang menjadi pembantu (khaddam) Kiai, mengisi bak mandi, mencuci
pakaian dan piring serta pekerjaan lainnya. Bahkan Kholil santri sering menjadi
juru masak kebutuhan teman-temannya.
Dari kehidupan prihatin itu Kholil santri
mendapat makan cuma-cuma. Sesudah cukup di Pesantren itu, gurunya menganjurkan
Kholil untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu
dihaturkan kepada Kiai, kemudian oleh Kiai diserahkan kembali pada Kholil
sebagai bekal belajar di Makkah.
Riwayat ini sebenarnya tidak dikenal oleh
sesepuh keturunan Syekh Kholil sendiri.
Namun hal itu masih dalam kategori “mungkin”. Kalau riwayat ini benar, maka
riwayat ini bisa disambung dengan riwayat keluarga Syekh Kholil, bahwa pada
suatu hari Syekh Kholil pulang menemui Nyai Maryam, tiba-tiba Syekh Kholil
Berkata: “ Kak, saya mau pamit berangkat ke Makkah.”
“Mau berangkat kapan, ‘Lil?” Tanya Nyai
Maryam.
“Sore ini, kak.” Jawab Syekh Kholil
singkat.
Sebenarnya ini suatu hal yang aneh,
karena setahu Nyai Maryam, Syekh Kholil tidak punya uang banyak untuk bisa ke
Makkah, apalagi dengan mendadak seperti itu. Namun Nyai Maryam sudah biasa
mendapati hal yang aneh-aneh dari sang adik, maka Nyai Maryampun percaya saja
dan tidak menganggap hal itu sebagai hal yang aneh. Maka Nyai Maryampun berkata:
“Kalau begitu tunggu aku masak nasi dulu, ya, ‘Lil. Kamu makan dulu sebelum
berangkat.” Syekh Kholilpun menunggu sang kakak memasak. Setelah makanan siap,
Syekh Kholilpun makan dan kemudian pamit berangkat ke Makkah. Menurut penuturan
Nyai Maryam, Syekh Kholil berjalan ke arah Barat dan Nyai Maryam menatap
kepergian beliau sampai beliau tak terlihat.
Nyai Maryam tidak tahu persisnya Syekh
Kholil berangkat naik apa dan dari mana. Barangkali saja Syekh Kholil naik
kapal dari Kamal atau dengan cara lain. Wallahu a’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar