Di layar kaca, saya menyaksikan berita-berita yang bukan saja membosankan tapi juga membuat saya merenung. Adakah Indonesia ini masih punya sukma ? Adakah Indonesia ini masih melekat budi pekerti ? Adakah Indoensia ini masih punya tanah air ? Dan sejumlah pertanyaan lainnya yang tak mampu saya jawab !
Hampir setiap detik berita korupsi, tawuran kelompok, narkoba dan lain-lainnya. Hampir tak pernah disuguhi berita-berita yang membuat hati kita teduh dan nyaman. Dan menariknya, koruptor-koruptor itu ketika disorot kamera pewarta malah tersenyum. Seolah-olah tidak ada kesalahan yang dilakukannya. Malah seolah-olah seperti malaikat yang datang dari kayangan (?).
Berita perang kelompok di Papua, di mana polisi berdiri di tengah-tengahnya seolah-olah seperti patung yang tak mampu berbuat apa-apa. Sungguh pemandangan ini membuat saya ‘malu’ jadi orang Indonesia.
Rasa malu inilah yang membuat saya menulis puisi. Puisi yang mungkin tidak punya arti bagi banyak orang. Tapi bagi saya puisi ini adalah pengejawantahan kesedihan, kegamangan, dan beban batin bagi anak negeri ini yang masih memiliki hati sanubari bangsa.
Saya tak yakin dengan sebuah puisi bisa mengubah Indonesia menjadi negeri yang bermartabat, negeri yang bisa berdiri dengan kepala tegak kemudian berseru kepada dunia : Ini Aku (negeri yang mampu berdiri sendiri dan tak perlu berlutut untuk minta bantuan ! Korupsi, No ! Perang kelompok, No ! Kemiskinan, No ! kebodohan, No !)
Ketika kepala telah tegak ke langit, maka saya tak perlu lagi menulis puisi seperti ini:
Negeri debu
Kaulah itu ?
Berselimut dusta
Dan kepalsuan
Hatimu penuh jamur
Tubuhmu tularkan aroma
tak sedap
Dan aku malu !
***
Apa yang ingin saya dialogkan dan menjadi renungan kita bersama. Hanya satu: dengan puisi, Indonesia
masih punya sukma.*
Tarakan, 22 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar